Arya Panangsang
Arya Penangsang
Arya Penangsang disebut juga Arya Jipang atau Ji Pang Kang adalah Raja Adipati Jipang yang
memerintah pada pertengahan abad ke-15
Arya
Penangsang adalah seorang adipati di Jipang Panolan yang sakti dan memiliki
sifat pendendam. Dengan sifatnya itu, ia memerintahkan anak buahnya untuk
menghabisi nyawa Raja Kerajaan Demak, Sunan Prawata. Tidak
puas dengan itu, Arya Penangsang pun berniat untuk membinasakan Sultan
Hadiwijaya yang berkedudukan di Pajang.
Dahulu Pada masa pemerintahaan Kesultanan Demak, Ada seorang
adipati yang bernama Arya Penangsang. Ia berkedudukan di Kadipaten Jipang
Panolan, Jawa Tengah.
Arya Penangsang adalah putra Raden Kikin atau yang biasa dikenal
dengan sebutan Pangeran Sekar Seda ing Lepen (bunga yang tewas
di tepi sungai Bengawan Solo).
Suatu hari Raden Kikin tewas di tangan Raden Mukmin atau Sunan
Prawata dalam sebuah peperangan karena memperebutkan tahta Kerajaan Demak untuk
menggantikan Sultan Trenggana yang telah wafat (1546 M). Setelah itu, Sunan
Prawata pun dinobatkan sebagai Sultan Demak.
Adipati Arya Penangsang yang mendapatkan dukungan dari gurunya,
Sunan Kudus, berniat untuk merebut tahta Kesultanan Demak dari tangan Sunan
Prawata. Keinginan tersebut muncul bukan karena ia ingin menguasai Kerajaan
Demak, tetapi juga untuk membalas dendam atas kematian ayahnya.
Pada suatu malam di tahun 1549 M, Arya Penangsang memerintahkan
pasukan khusus Jipang Panolan yang dikenal dengan nama Pasukan Sureng untuk
membinasakan Sunan Prawata. Pasukan itu dipimpin oleh Rangkud. Setibanya di
kediaman Sunan Prawata, Rangkut berhasil menyelinap masuk ke dalam kamar tidur
Sunan Prawata sementara para anak buahnya berjaga-jaga di luar.
Ketika itu, Sunan Prawata sedang menderita sakit sehingga tidak
dapat berbuat banyak selain pasrah. Ia pun mengakui kesalahannya dan rela untuk
diakhiri hidupnya oleh orang yang tidak dikenalnya itu
.
Sunan Prawata “Hai,
Kisanak, habisilah nyawaku! Aku akan bertanggung jawab atas kematian Raden
Kikin. Tapi, tolong kamu jangan melukai istriku!” .
Rangkud mengabulkan permintaan itu. Namun, ketika ia
menghujamkan kerisnya ke tubuh Sunan Prawata, ternyata keris itu tembus hingga
mengenai tubuh istri Sunan Prawata yang berlindung di balik punggung suaminya.
Istri Sunan Prawata pun tewas.
Melihat istrinya meninggal, Sunan Prawata menjadi marah. Dalam
keadaan terluka parah, ia segera mencabut keris yang menancap di tubuhnya lalu
dilemparkannya ke arah Rangkud. Sunan Prawata pun berhasil membinasakan Rangkud
sebelum dirinya menghembuskan nafas terakhir.
Sementara itu, Arya Penangsang yang telah menguasai Demak
semakin bengis.
Ia pun berniat membinasakan menantu Sultan Trenggana yang
bernama Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir di Pajang. Untuk itu, ia mengutus
empat orang anak buahnya ke Pajang. Setibanya di sana, keempat utusan tersebut
justru tertangkap oleh Sultan Hadiwijaya. Namun, mereka tidak dihukum melainkan
diberi hadiah dan disuruh kembali ke Jipang.
Kepulangan keempat utusan yang membawa hadiah tersebut tentu
saja membuat Arya Penangsang tersinggung dan sangat marah. Ia pun memutuskan
untuk menghabisi nyawa Hadiwijaya dengan tangannya sendiri.
Sultan Hadiwijaya yang mengetahui kabar tersebut menganggap Arya
Penangsang telah memberontak terhadap Pajang. Namun, ia tidak ingin memerangi
Arya Penangsang secara langsung karena mereka sama-sama anggota keluarga Demak
dan saudara seperguruan, yaitu sama-sama murid Sunan Kudus. Untuk menghadapi
pemberontak itu, Sultan Hadiwijaya mengadakan sayembara. Barang siapa mampu
membinasakan Arya Penangsang, maka ia akan diberi hadiah tanah di daerah Pati
dan hutan Mataram.
Karena desakan Ki Juru Martani, Ki Ageng Pamanahan dan adik
angkatnya, Ki Penjawi, yang merupakan abdi dalem Sultan
Hadiwijaya, pun ikut dalam sayembara tersebut. Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru
Martani segera menyusun rencana dan taktik peperangan melawan Arya Penangsang.
Ki Juru Martani menyarankan kepada Ki Ageng Pamanahan untuk mengusahakan agar
mereka dapat membawa tombak pusaka Kyai Plered milik Sultan Hadiwijaya ke medan
perang karena hanya tombak itulah yang mampu melukai Arya Penangsang.
Atas saran Ki Juru Martani, Ki Ageng Pamanahan memohon kepada
Sultan Hadiwijaya untuk membawa serta anak angkat sang Sultan yang bernama
Danang Sutawijaya ke medan perang. Dengan begitu, Sultan Hadiwijaya akan
meminjamkan keris pusakanya kepada putra angkatnya itu. Sultan Hadiwijaya pun
menyetujuinya.
Pada suatu hari, Ki Ageng Pamanahan bersama rombongannya
berangkat menuju daerah Jipang. Penyerangan itu dipimpin oleh Ki Juru Martani.
Setibanya di tepi sungai Bengawan Solo yang merupakan tapal batas wilayah Sela
dan Jipang, Ki Juru Martani segera mengatur siasat. Danang Sutawijaya tampak
berdiri di samping seekor kuda putih yang akan ditungganginya untuk menghadapi
Arya Penangsang. Di tangannya tergenggam tombak pusaka Kyai Plered yang
ujungnya ditutupi kain putih dan diberi rangkaian bunga melati.
Tak jauh dari tempat pasukan Pajang bersembunyi, tampak
seorang pekatik (pemelihara kuda) yang sedang mencari rumput
untuk kuda milik Arya Penangsang. Ki Juru Martani pun segera menangkap pekatik itu
lalu melukai telinganya dan mengalunginya surat tantangan. Setelah itu,
si pekatik disuruh segera kembali ke Jipang untuk menghadap
Arya Penangsang.
Setibanya di Jipang, pekatik itu segera
menyerahkan surat itu kepada Patih Matahun untuk dibaca di hadapan Arya
Penangsang.
Isi surat itu berbunyi seperti berikut:
“Hei, Penangsang! Yen sira nyata lanang sejati, payo tandhing
lawan ingsun. Dak anti sapinggiring bengawan tapel wates. Yen ora wani nekani,
nyata sira wandu kang memba rupa! Budhala tanpa rowang! Ingsun wong Sela wus
tan bisa suwe nahan sedyaning tyas kapeing nigas janggamu!”
( “Hai, Penangsang! Jika kamu nyata lelaki sejati, mari
bertanding denganku! Aku tunggu di pinggir sungai tapal batas. Jika tidak
berani datang, jelaslah kamu seorang banci yang menyamar sebagai lelaki!
Berangkatlah tanpa prajurit! Aku orang Sela sudah gatal ingin memenggal
kepalamu!”)
Mengetahui isi surat itu, Arya Penangsang langsung menggebrak
meja di sampingnya. Ia lalau segera mengenakan pakaian perang dan keris
pusakanya yang bernama Kyai Setan Kober.
Arya Penangsang : “Prajurit!
Siapkan Kyai Gagak Rimang!(kuda andalan)”
Dengan mata merah penuh amarah, Arya Penangsang segera
menunggangi Kyai Gagak Rimang menuju sungai tapal batas wilayah Jipang.
Setibanya di tepi sungai, Arya Penangsang melihat seorang anak kecil yang
sedang menunggang kuda putih di seberang sungai. Anak kecil itu tak lain adalah
Sutawijaya yang sudah siap dengan tombak pusakanya. Melihat kedatangan Arya
Penangsang, Danang Sutawijaya berteriak dengan suara nyaring.
Danang Sutawijaya : “Hai, Penangsang! Lawanlah aku kalau kamu
berani!”
Dada Arya Panangsang bagai dibakar api mendengar suara anak
kecil yang menantangnya itu. Ia tidak sanggup lagi menahan emosinya. Dengan
segera ia menarik tali kekang Kyai Gagak Rimang sehingga kuda itu meringkik dan
berlari menapaki dasar Sungai Bengawan yang hanya setinggi lutut. Betapa
senangnya hati Danang Sutawijaya melihat Arya Penangsang mendahuluinya mencebur
ke sungai. Konon, jika terjadi peperangan atau pertarungan di Sungai Bengawan,
pihak yang lebih dahulu turun ke sungai pasti akan kalah.
Tanpa ragu lagi, Sutawijaya segera menghela kuda putihnya turun
ke sungai. Begitu ia berhadap-hadapan dengan Arya Penangsang, putra Ki Ageng
Pamanahan itu segera memutar arah kudanya sehingga membelakangi kuda Arya
Penangsang. Kuda hitam kesayangan Arya penangsang pun tiba-tiba bertingkah aneh
dan menjadi liar karena kuda yang ditunggangi Sutawijaya ternyata kuda betina.
Kemaluan kuda putih terlihat dengan jelas karena ekornya sengaja diikat ke
atas.
Semakin lama Kyai Gagak Rimang semakin liar dan berontak hingga
Arya Penangsang kerepotan mengendalikannya. Melihat Arya Penangsang sibuk
mengendalikan kudanya, Sutawijaya tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia
segera menusukkan tombak pusaka Kyai Plered ke perut Arya Penangsang hingga
robek hingga sebagian ususnya terburai.
Meski demikian, Arya Penangsang yang sakti itu masih hidup. Ia
berusaha meraih ususnya yang terburai itu lalu dikalungkannya pada warangka
keris pusaknya. Setelah itu, ia segera menarik tali kekang kudanya untuk
mengejar Sutawijaya. Begitu mendekat, Arya Penangsang meraih tubuh Sutawijaya
yang kecil itu dan membantingnya ke tanah hingga tak berdaya. Arya Penangsang
segera turun dari kudanya lalu menginjak dada Sutawijaya.
Melihat putranya dalam keadaan bahaya, Ki Ageng Pamanahan segera
keluar dari tempat persembunyiannya. Ia segera menggunakan siasatnya dengan
berpura-pura memihak kepada Arya Penangsang.
Ki Ageng Pamanahan :“Hai,
Arya Penangsang! Habisi saja nyawa putra Sultan Hadiwijaya itu!”
Arya Penangsang pun baru sadar bahwa ternyata anak kecil yang
diinjak dadanya itu adalah putra musuhnya. Dengan geram, ia segera mencabut
keris Kyai Brongot Setan Kober dari pinggangnya. Namun, ia lupa jika sebagian
ususnya tersampir di warangka keris pusaka itu. Begitu ia mengangkat keris itu,
seketika itu pula ususnya terputus. Tak ayal lagi, tubuh Arya Penangsang itu
tersungkur ke tanah dan tewas seketika.
Setelah Arya Penangsang tewas, Ki Ageng Pemanahan beserta
rombongannya kembali ke Pajang untuk melapor kepada Sultan Hadiwijaya bahwa
Arya Penangsang telah tewas. Sultan Hadiwijaya sangat gembira mendengar kabar
gembira itu. Sesuai dengan janjinya, maka ia pun menghadiahi Ki Ageng Pamanahan
dan Ki Penjawi tanah di Pati dan tanah di hutan Mataram.
Setelah melalui perundingan, Ki Ageng Pamanahan mendapatkan
bagian tanah di hutan Mataram sedangkan Ki Penjawi mendapatkan bagian tanah di
Pati. Atas restu Sultan Hadiwijaya, keduanya menuju ke bagian masing-masing. Ki
Ageng Pamanahan pun mengajak putranya, Danang Sutawijaya, untuk ikut serta
pindah dan menetap di daerah yang menjadi bagiannya. Di sana, mereka mengubah
hutan belantara itu menjadi pusat kerajaan besar yang bernama Kerajaan Mataram.(TAMAT)
Hikmah cerita :
adalah bahwa orang yang
memiliki sifat bengis dan pendendam seperti Arya Penangsang pada akhirnya akan
mendapatkan musibah. Arya Penangsang tewas dalam pertarungan karena selalu
kurang perhitungan dalam bertindak. Hal ini terjadi karena hati dan pikirannya
telah digerogoti oleh sifat dendam sehingga ia menjadi kalap.
Baca juga cerita Rakyat dari Jawa Lainnya :
Baca juga cerita Rakyat dari Jawa Lainnya :
.
Comments
Post a Comment